Sabtu, 17 Maret 2012

Tukang Rombeng


Tukang Rombeng
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10:11).
Untuk orang seperti siapakah Dia datang? Untuk bilangan waktu manakah Dia menjelang? Berikut adalah kisah yang menunjukkan kepada siapa dan kapan Dia akan datang. Semuanya, hanya satu saja dasarnya: Cinta!
Menjelang fajar, pada suatu hari Jumat, saya melihat seorang pria muda, tampan, dan kuat, berjalan di lorong-lorong kota kami. Dia menarik gerobak yang penuh dengan pakaian baru sambil berseru dengan suara nyaring, "Rombeng!" Ah, udara berbau busuk dan cahaya yang muram itu dilintasi oleh suara musik yang indah.
"Rombeng! Baju lama ditukar baju baru! Saya menerima baju rombeng! Rombeng!"
"Sekarang inilah keajaiban," pikir saya dalam hati, karena pria ini tinggi besar, dan lengannya kukuh seperti dahan pohon, keras dan berotot. Matanya menyorotkan kecerdasan. Apakah dia tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih baik sehingga memilih menjadi tukang rombeng di kota yang kumuh? Saya mengikutinya karena keingintahuan saya yang besar. Dan, saya tidak kecewa. Tukang rombeng itu melihat seorang wanita duduk di beranda belakang.
Dengan saputangan menutupi wajahnya, dia menangis, mengeluh dan mencucurkan ribuan tetes air mata. Lutut dan sikunya membentuk huruf X. Bahunya bergetar. Hatinya hancur. Tukang rombeng itu menghentikan gerobaknya. Dengan tenang, dia menghampiri wanita itu sambil menginjak kaleng-kaleng kosong, mainan rusak, dan barang rongsokan lainnya.
"Berikan barang rombengmu," ujar tukang rombeng itu dengan sabar, "dan saya akan memberimu barang baru."
Tukang rombeng itu melepaskan saputangan dari mata wanita itu. Wanita itu memandangnya, dan tukang rombeng itu meletakkan sebuah saputangan linen yang baru dan bersih ke telapak tangannya. Mata wanita itu beralih dari pemberian itu ke pemberinya.
Kemudian, saat tukang rombeng itu menarik gerobaknya kembali, dia melakukan hal yang aneh: Dia mengusapkan saputangan yang penuh noda itu ke wajahnya sendiri, dan kemudian dia mulai menangis. Dia menangis begitu kerasnya seperti wanita itu sehingga pundaknya bergetar. Namun, wanita itu tidak lagi menangis.
"Ini ajaib," ujar saya kepada diri saya sendiri, dan saya mengikuti tukang rombeng seperti seorang anak yang ingin membongkar suatu misteri.
"Rombeng! Rombeng! Baju tua saya ganti dengan baju baru!"
Tidak lama kemudian, ketika matahari makin tinggi, tukang rombeng itu mendatangi seorang gadis yang kepalanya dibalut. Mata gadis itu menatap kosong. Darah membasahi perbannya. Aliran darah mengalir di pipinya. Sekarang, tukang rombeng yang tinggi itu menatap gadis itu dengan rasa kasihan, dan dia mengeluarkan topi wanita dari gerobaknya.
"Berikan perbanmu," ujarnya, "dan saya akan memberimu sebuah topi baru."
Anak gadis itu hanya dapat menatap tukang rombeng dengan heran ketika dia mulai melepaskan perban dari kepalanya dan memasangnya di kepalanya sendiri.
Kemudian, dia memasang topi baru itu di kepala gadis kecil itu. Dan, saya terperangah dengan apa yang saya lihat. Sekarang, ganti kepala tukang rombeng itu yang terluka. Di alisnya mengalir darah segar, darahnya sendiri!
"Rombeng! Rombeng! Saya menerima barang rombeng!" teriak tukang rombeng yang kuat, cerdas tetapi menangis dan berdarah.
Matahari menyilaukan mata saya dan tukang rombeng itu tampak semakin tergesa-gesa.
"Apakah kamu mau bekerja?" tanyanya kepada seorang yang bersandar di tiang telepon. Pria itu menggelengkan kepalanya.
Tukang rombeng itu mendesaknya, "Apakah kamu memiliki pekerjaan?"
"Kamu gila ya?" ujar orang itu sambil menyeringai. Dia tidak lagi bersandar di tiang telepon, tetapi membuka lengan bajunya dan menarik tangannya dari kantung jaketnya. Dia tidak mempunyai tangan.
"Berikan jaketmu kepada saya dan saya akan memberimu jaket saya," perintah tukang rombeng itu.
Suaranya memancarkan otoritas! Pria buntung itu melepaskan jaketnya. Demikian juga tukang rombeng itu. Dan, saya gemetar mengetahui apa yang saya lihat: lengan tukang rombeng itu melekat di jaketnya dan ketika pria buntung itu mengenakan jaket, lengan itu terpasang di pundaknya. Sekarang, tukang rombeng itu buntung sebelah tangannya.
"Pergilah bekerja," ujar tukang rombeng itu.
Setelah itu, tukang rombeng menjumpai seorang pemabuk yang berbaring pingsan di bawah selimut tentara. Pemabuk itu tampak tua dan memprihatinkan. Tukang rombeng itu mengambil selimut pemabuk itu dan membungkuskannya ke tubuhnya sendiri, lalu menyelimuti pemabuk tua itu dengan selimut baru.
Dan, sekarang saya harus berlari supaya bisa mengikuti tukang rombeng itu. Meskipun dia menangis menjadi-jadi, darah bercucuran di wajahnya, menarik gerobak dengan satu lengan, tersandung, terjatuh berkali-kali, kelelahan, tua dan sakit, dia melangkah dengan kecepatan tinggi. Dengan "kaki laba-laba" dia menyusuri lorong-lorong kota itu.
Saya terkejut melihat perubahan pria ini. Saya sedih melihat penderitaannya. Meskipun demikian, saya ingin melihat ke mana dia pergi dengan begitu tergesa-gesa dan saya juga ingin mengetahui apa yang membuatnya melakukan semua ini.
Tukang rombeng yang sekarang bertubuh kecil dan tua itu pergi ke suatu tempat. Dia menghampiri sebuah lubang sampah. Saya ingin membantunya mengerjakan apa pun, namun saya menarik diri dan bersembunyi. Dia mendaki sebuah bukit. Dengan usaha yang keras, dia membersihkan sebuah tempat di bukit itu. Kemudian, dia menarik napas. Dia berbaring. Dia memakai sebuah saputangan dan jaket sebagai bantalnya. Dia menutupi tulang-tulangnya dengan selimut tentara. Dan, dia mati.
Oh, saya menangis menyaksikan kematian seperti itu! Saya masuk ke sebuah mobil rongsokan dan menangis serta meratap seperti seorang yang tidak punya harapan, karena saya mulai mencintai tukang rombeng itu. Setiap wajah yang saya kenal memudar ketika saya melihat wajah tukang rombeng itu. Saya sangat menghargai tukang rombeng itu, tetapi dia mati. Saya menangis terus sampai jatuh tertidur.
Saya tidak tahu -bagaimana saya bisa tahu?- bahwa saya tidur melewati Jumat malam dan Sabtu malam. Tetapi kemudian, pada Minggu pagi, saya tersentak bangun. Cahaya -sinar yang murni- menghunjam wajah saya yang kecut, dan saya mengerjapkan mata saya. Saya melihat keajaiban yang terakhir dan pertama. Tukang rombeng itu bangun, melipat selimutnya dengan amat hati-hati.
Ada goresan luka di dahinya, namun dia hidup! Di samping itu, dia juga sehat! Tidak ada kesan sedih atau tua di wajahnya, dan semua rombengan yang berhasil dikumpulkannya tampak bersih dan bersinar. Saya tidak sanggup menatap semua itu lagi. Saya gemetar melihat semua itu. Saya berjalan mendekati tukang rombeng itu. Saya memberi tahu nama saya dengan rasa malu, karena saya adalah makhluk yang patut dikasihani di depannya.
Kemudian, saya melepaskan pakaian saya di tempat itu, dan saya berkata kepadanya dengan penuh permohonan, "Beri saya pakaian baru."
Dia memakaikan pakaian baru di tubuh saya. Saya menjadi ciptaan baru di tangannya. Tukang rombeng itu, tukang rombeng itu, tukang rombeng itu adalah Kristus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar