Selasa, 13 Maret 2012

Tongkat Penuntun


Tongkat Penuntun
Sudah menjadi kebiasaan orang tua-tua jika tubuh sudah tidak sekuat remaja maka tongkat menjadi alat bantu yang sungguh berguna. Begitu pula bagi kakek Putih di desa Ujung Pelangi. Kakek tersebut memang lebih dikenal sebagai Kakek Putih karena selain rambutnya yang putih juga karena ketulusan dan kebijaksanaannya dalam membantu penduduk desa memecahkan perkaranya.
Kemana-mana sang kakek Putih selalu menggunakan tongkat bambu wuluhnya jika berjalan mengelilingi desa. Bambu wuluh memang dikenal sebagai bambu yang kuat dan nyaman bagi pemakainya. Kebetulan pula di kebun sang kakek banyak ditumbuhi bambu wuluh. Namun semenjak sang kakek kemana –mana memakai tongkatnya, banyak orang tua-tua di desa mulai membiasakan dirinya berjalan-jalan dengan tongkat bambu wuluh meski beberapa dari mereka tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Harapannya adalah supaya bisa terlihat bersahaja dan menjadi bijaksana seperti sang kakek Putih. Menyadari itu sang kakek hanya tersenyum melihatnya.
Hingga tibalah waktunya, sang kakek meninggal karena usia. Banyak orang merasa kehilangan dan terkenang akan kebaikan serta kebijaksanaannya. Dimana-mana ia dibicarakan, baik tentang kebiasaan maupun tentang tongkat penuntunnya.
Tongkatnya menjadi begitu keramat dan banyak orang mulai melakukan penelitian pada tongkat tersebut. Berbagai berita tentang keajaiban dan kekuatan tongkat beredar luas di desa sepeninggal sang kakek meski tidak jelas darimana sumbernya. Sampai keluarlah ketentuan dari para tetua desa bagi para penduduk yang mulai lanjut usia tepat di usia yang sama sewaktu almarhum kakek putih pertama kali menggunakan tongkat, diwajibkan tanpa kecuali untuk memakai tongkat yang dibuat sama. Yaitu tongkat bambu wuluh dengan panjang dan diameter yang sama persis dengan tongkat legendaris sang kakek.
Pernah ada seorang pemuda desa bertanya mengapa hal itu diwajibkan pada setiap penduduk lanjut usia. Seorang tetua menjawab sesuai teladan yang ditunjukkan oleh sang kakek putih yang terbukti ketulusan dan kebijaksanaannya, maka diharapkan mereka yang sudah lanjut usia bisa menjadi bijaksana dan tulus seperti sang kakek. Sang pemuda tersebut masih terus mengajukan pertanyaan sekitar tongkat dan kewajibannya hingga membuat para tetua desa tidak lagi dapat menjawabnya karena mereka sendiri tidak mempunyai jawaban yang tepat. Dan yang terjadi kemudian pemuda itu dianggap aneh dan pemberontak oleh para tetua hingga dikucilkan oleh seluruh penduduk desa.
Akhir cerita, hingga sekarang tongkat bambu wuluh milik sang kakek putih masih tersimpan rapi dan dikeramatkan oleh penduduk desa Ujung Pelangi.
*Keyakinan manusia bagaikan tongkat penuntun sang kakek. Menjadi hal yang sangat disayangkan sekali jika tongkat penuntun itu berubah fungsi dan menguasai kehidupan dengan kaku tanpa menyentuh makna dan fungsi yang sesungguhnya sesuai dengan kebutuhan sang pemakai. Bukanlah pemakai yang menyesuaikan diri dengan tongkatnya. Namun tongkat penuntun yang benar adalah yang dibuat atau dapat disesuaikan baik panjang maupun diameternya untuk sang pemakainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar